Warga duduk bersama di beranda Masjid Nurul Iman untuk begibung atau makan bersama usai Shalat Idul Fitri di Dusun Kwang Jukut, Desa Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Senin (2/5/2022).
Selepas Shalat Idul Fitri di masjid dan bersalam-salaman, warga Lombok, Nusa Tenggara Barat, tidak langsung pulang ke rumah. Mereka tetap tinggal di masjid, lalu duduk di lantai untuk begibung atau makan bersama menikmati hidangan Lebaran.
Tradisi begibung itulah yang dilakukan sejumlah warga seusai Shalat Idul Fitri di Masjid Nurul Iman, Dusun Kwang Jukut, Senin (2/5/2022). Begitu khatib menutup khutbah Idul Fitri, jemaah langsung berdiri. Bacaan shalawat pun bergema di masjid yang berlokasi di Desa Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.
Jemaah laki-laki di dua saf depan lalu berdiri membelakangi dinding. Sementara jemaah di saf lainnya berjalan menyalami satu persatu laki-laki yang berdiri itu. Iringan panjang hingga beberapa belas meter langsung terlihat.
Di beranda masjid yang berjarak sekitar 21 kilometer sebelah timur Mataram, ibu kota NTB itu, kelompok jemaah perempuan juga melakukan hal yang sama. Setelah semua selesai berjabat tangan, mereka masuk ke dalam masjid dan bersalaman dengan jemaah pria.
Baca juga: Merayakan Hari Kemenangan dengan Doa dan Santap Bersama di Kubu Raya
Dulang berisi nasi, lauk pauk, dan berane kue yang akan disantap atau dimakan bersama atau begibung oleh warga usai Shalat Idul Fitri di Dusun Kwang Jukut, Desa Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Senin (2/5/2022).
Suasana terasa haru. Beberapa jemaah laki-laki tidak hanya berjabat tangan, tetapi juga saling berpelukan. Mata mereka tampak berkaca-kaca karena merasa berat ditinggal bulan Ramadhan.
Kegiatan salam-salaman itu berlangsung sekitar 15 menit. Setelah itu, semua jemaah, baik laki-laki maupun perempuan, berkumpul di beranda masjid. Warga dewasa dan anak-anak dipersilahkan duduk di lantai, sementara yang remaja turun ke halaman masjid.
Baca juga: Selempang Salib Menjaga Idul Fitri di Kaki Ile Boleng
Di halaman itu, ada panggung kecil yang di atasnya diletakkan puluhan dulang atau nampan berisi nasi dengan beraneka lauk-pauk. Makanan di dalam dulang itu dimasak oleh warga di rumah masing-masing, lalu dibawa ke masjid pagi-pagi sebelum Shalat Idul Fitri.
Dulang-dulang tersebut kemudian diletakkan di depan jemaah yang telah duduk menunggu. Satu dulang diperuntukkan bagi dua hingga tiga orang. Dibagikannya dulang-dulang itu menunjukkan, tradisi begibung akan segera dimulai.
Warga duduk bersama di beranda masjid untuk begibung atau makan bersama usai Shalat Idul Fitri di Dusun Kwang Jukut, Desa Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Senin (2/5/2022).
Setelah semua jemaah mendapat jatah dulang, mereka tidak langsung menyantap makanan yang ada. Para jemaah menunggu sang kiai atau tokoh agama untuk menyantap makanan di dalam dulang.
“Ayo kita makan,” kata salah seorang jemaah, Budi Hartono (40), begitu melihat kiai yang duduk tak jauh darinya mulai menyantap makanan.
Isi masing-masing dulang itu berbeda-beda, tergantung warga yang membawanya. Budi mendapat dulang berisi nasi dengan lauk opor ayam, gulai ikan, telur rebus, hingga bebalung atau sup iga khas Lombok.
Di sebelah Budi, dua jemaah lain mendapat dulang berisi aneka olahan daging ditambah sate. Ada juga yang dulangnya berisi nasi dan lauk pauk ditambah buah, roti, dan berbagai jajanan Lebaran. Namun, jemaah bisa saja meminta makanan dari dulang jemaah lain.
Baca juga: Kisah Lebaran Pemulung dan Pekerja Serabutan di Ibu Kota
Seorang warga menyiapkan berbagai lauk pauk untuk dibawa ke masjid dan akan disantap atau dimakan bersama atau begibung usai Shalat Idul Fitri di Dusun Kwang Jukut, Desa Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Senin (2/5/2022).
Budi mengaku selalu antusias mengikuti acara begibung setiap Idul Fitri. “Selalu menyenangkan saat makan bersama-sama. Saat duduk di lantai yang sama. Tidak ada perbedaan satu sama lain,” katanya.
Setelah selesai makan, jemaah tidak langsung menutup dulang dan mencuci tangan. Mereka juga harus menunggu sang kiai mencuci tangan dan menutup dulang terlebih dahulu.
“Kiai adalah penjuluq atau seperti orang tua. Jadi dia yang membuka dan juga menutup (ketika makan bersama). Jemaah tidak boleh mendahuluinya sebagai bentuk adab atau kesopanan,” kata Jinadi (60), tokoh masyarakat Dusun Kwang Jukut.
Menurut Jinadi, tradisi begibung di masyarakat Lombok adalah warisan turun temurun yang terus dipertahankan sampai saat ini. Namun, tradisi itu sebenarnya tidak hanya dilakukan saat Idul Fitri, tetapi juga saat hajatan dan kegiatan yang disertai roah atau zikir bersama.
Saat hajatan, semua dulang dipersiapkan oleh tuan rumah atau penyelenggara hajatan. Namun, saat momen Idul Fitri, warga di tiap rumah menyiapkan dulang untuk dibawa ke masjid.
Warga membakar dila jojor atau lampu jojor di Dusun Kwang Jukut, Desa Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jumat (22/4/2022) malam. Tradisi yang digelar sebagian masyarakat muslim di Lombok pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan itu untuk menyambut malam Lailatul Qadar.
Menurut Jinadi, begibung tidak sekadar ajang makan-makan, tetapi juga melambangkan kebersamaan. “Begibung ini jadi ruang silaturahmi antar-warga. Kita duduk bersama dengan siapa saja tanpa melihat status sosial, lalu menyantap bersama isi dulang di depan kita,” kata Jinadi.
Antusiasme tidak hanya dirasakan mereka yang ikut begibung. Warga yang menyiapkan makanan untuk diletakkan di dulang pun juga antusias. Dengan sukarela, mereka berbelanja ke pasar, memasak, lalu membawa makanan itu ke masjid. Mereka semakin senang ketika melihat dulang kosong karena makanannya habis disantap warga.
“Beberapa tahun terakhir memang sedang berat (karena pandemi). Tetapi senang karena tetap ada rezeki untuk masak dan membuat dulang ke masjid,” kata Inaq Senap (60), salah satu warga.
Lewat begibung, masyarakat Lombok menunjukkan bahwa kebersamaan bisa diciptakan lewat cara sederhana, tidak perlu cara-cara yang rumit. Cukup duduk di lantai dan menyantap menu Lebaran yang sama.
Kunjungi Sosial Media Kami:
Hanya terisolasiMengecualikan Terisolasi
Ular adalah reptil predator dalam ordo Squamata, dengan hampir 4.000 spesies tersebar di seluruh dunia. Mereka sering diasosiasikan dengan dunia bawah.
Di Alkitab, ular sering kali melambangkan Setan atau Lucifer, sebagai simbol entitas jahat yang membawa kematian, kutukan, dan penyakit. Banyak spesies ular memiliki bisa mematikan, dan beberapa dapat menyebabkan kematian secara langsung. Selain itu, ada yang bersifat konstriktor, yang artinya meskipun tidak berbisa, mereka dapat membunuh mangsanya dengan cara membatasi pernapasannya.
Hanya terisolasiMengecualikan Terisolasi
Copyrights © 2024 All Rights Reserved by Pramuka Kota Blitar
Bentuk Bunga Krisanthium, Bunga ini memiliki banyak artian dari bebrbagai negara. Arti yang dimaknai dari logo ini adalah makna sebuah kepanjangan umur, dimana logogram dari bunga ini adalaha simbolisasi keluarga yang utuh dan harmonis yang bertahan tak lekang oleh waktu.
Keberagaman Warna dari Biru hingga ke Orange,Merupakan simbol bahwa di dalam keluarga yang utuh memiliki banyak tujuan dan fungsi bagi anggotanya. Terutama dalam hal menjaga keamanan dan memberikan rasa aman (biru) hinggu tempat pembawa keceriaan dan semangat (orange).
Logogram 3 anggota keluarga: Ayah, Ibu dan Anak, Logogram yang berbentuk seperti tanda hati yang terdiri dari dari Ayah dan Ibu yang memeluk anaknya. Melambangkan rasa cinta yang tumbuh dan menguat yang menjadi inti yang dilindungi oleh keluarga itu sendiri (bunga krisanthium).
Logotype, Logotype diambil dari font Camoora semibold yang merupakan jenis font sans serif yang mewakili modernitas dan kejujuran dari arti posyandu yang menjadi media pendukung bagi setiap keluarga di Indonesia.